Suamiku berasal dari keluarga kreak. Dalam bahasa medan kreak itu dimaksudkan untuk orang-orang berwatak keras- suka memberontak dan kurangnya berpendidikan.
Cirinya itu berpenampilan seadanya terkesan acak2n, bicaranya tidak tertata, bermulut kotor, merasa paling hebat hingga tidak takut pada siapapun.
Mereka hidup di lingkungan menengah ke bawah, dimana kesulitan keuangan menjadi kendala nomor satu dalam menjalani hidup.
Jadi jangankan untuk menempuh pendidikan –yang membutuhkan biaya- untuk makan sehari-hari saja mereka kesulitan.
Hampir 90% sanak saudara suamiku adalah mereka yang putus sekolah. Sisa 10% nya adalah lulusan SMA yang hidupnya juga tidak terlalu berbaur dengan yang putus sekolah.
Di masa kecilnya, suamiku menghabiskan waktunya sebagian besar untuk mencari uang. Mulai dari nyemir sepatu, mencari barang rongsokan, jualan kue, sampai usia remaja mulai merantau, bekerja di galon air, bangunan, bengkel dan banyak lagi. Apapun dilakukan asal bisa menghasilkan uang.
Nantinya uang itu akan diberikan untuk ibunya masak. Suamiku yang tumbuh besar tanpa ayah memaksanya menjadi tulang punggung keluarga sejak kecil.
Secara pengalaman, suamiku memiliki lebih banyak pengalaman hidup dibanding diriku, yang hanya menghabiskan waktu untuk sekolah, dan menuntut ilmu saja.
Bahkan bukan sekali dua kali orang-orang memandang suamiku sebagai SAMPAH.
Hal itu terkadang membuatku marah, tapi adakalanya aku malah setuju.
Lucu sekali..