Entri Populer

Minggu, 08 September 2024

Mereka bilang Ayahku pelit, tapi bagaimanapun keadaannya dia tetap ayahku

 Aku anne laras, panggil saja laras.
Aku sudah 18 tahun dan sedang kuliah jalur beasiswa.

Sejak kecil aku sudah di didik oleh ayah untuk menjadi orang yang hemat, uang jajan terbatas dan makanpun kadang dijatah.
Aku bahkan pernah dipukul sapu karena memberikan baju bekas pada anak tetanggaku.
Segala macam pengeluaran rumah tangga akan dicatat walau hanya 500perak.
Jika catatan keuangan pengeluaran lebih besar daripada pemasukan, maka ayah akan mematikan lampu ketika kami tidur agar menghemat listrik.
Dan jika catatan keuangan amburadul atau ada yang terselip maka ayah akan marah-marah tidak jelas, semua hal bisa jadi serba salah.

Memang marga ayah ibuku terkenal sebagai marga pelit di lingkungan sekitar yaitu marga padang.
Ketika aku masih kecil ayah ibuku berladang menanam sayuran dan cabai. Karna prilaku hidup pelit mereka, aku nyaris jarang sekali makan ikan atau daging. Sehari-hari hanya makan sayur dan sambal yang dipetik dari kebun sendiri. Kalaupun ada saudara yang berkunjung kerumah, ibu baru masak telur balado yang rasanya sudah mewah sekali dilidahku.

Di usiaku yang ke 13tahun, adalah kali pertama ayah membuka usaha rumah makannya. Mereka membuka rumah makan padang dibantu oleh anak undeku yang baru saja putus sekolah, dia sengaja datang merantau ke kotaku 'sembahe' untuk sekedar mencari makan. aku memanggilnya Uni sarah.

Uni sarah hanya digaji 500ribu sebulan untuk membantu masak dan mencuci piring dirumah makan keluargaku. Meski begitu dia sudah bersukur karna diberi makan gratis.

Awalnya langganan ayah cukup banyak, hampir setiap hari ayah menghitung keuangan yang bisa 3xlipat keuntungannya daripada modal.
Meskipun begitu ayah tetap saja pelit pada anak-anaknya.

Aku bahkan harus kerja menjadi asisten guru, yang lebih mirip petugas kebersihan di sekolah agar bisa mendapat uang masuk untuk membeli sesuatu yang aku inginkan.

Di masa SMA, hal yang paling aku inginkan adalah Handphone Kamera, dan butuh waktu 4bulan sampai uangku cukup membeli Handphone Kamera "Nokia" saat itu.
Itupun kubeli dalam kondisi bekas yang masih layak, Karna membeli baru akan butuh waktu lebih lama lagi menabung, sedang hati sudah ingin sekali.

Semua teman sudah punya Handphone Kamera, bahkan anak seorang janda yang pekerjaan ibunya PRT juga sudah punya Handphone kamera.
Sedang ayahku yang seorang pengusaha rumah makan yang lumayan laris, jangankan Handphone, untuk membelikanku buku sekolah saja, kalau  bisa ayah mencarinya di Loakan agar dapat yang murah.

Karna mau buku baru atau bekas, yang penting niat belajarnya, kata ayah.

Singkat cerita
hari ini aku sudah kuliah,  dan itupun jalur beasiswa karna aku takut jika aku meminta ayah menguliahkanku, maka uangnya akan habis sia-sia, pikirnya.

Beras, Gula, Minyak, bahan makanan dan sembako perlahan mulai naik, membuat ayah makin pusing memutar uang.
Segala pengeluaran ditekan, termasuk mengolah kembali makanan sisa yang tidak habis dari rumah makan.

Aku sampai terkadang tidak mau menyentuh makanan dari jualan ayah karna tau proses pembuatan makanan segar yang dicampur makanan sisa.
Aku tau ini curang, tapi itulah cara ayah agar bisa menghasilkan keuntungan sebanyak mungkin.

Dari luar mungkin orang-orang berpikir jika hidupku enak dan baik-baik saja. Memiliki keluarga kaya, usaha lancar, rumah besar dan kendaraan.
Tapi dari dalam aku merasa benci pada keluargaku. Mereka bahkan merasa pelit mengeluarkan uangnya untuk bersedekah.

INGIN RASANYA CEPAT TAMAT KULIAH DAN BEKERJA SENDIRI, MENGHASIKAN UANG DAN PERGI MERANTAU JAUH DARI KELUARGA YANG PELIT.


Tapi meskipun begitu, seburuk apapun ayahku dia tetap ayahku.
Di masa depan aku yakin tetap ada hal baik yang bisa kucontoh dari ayahku.
yaitu kebiasaannya menabung yang konsisten.
Dan biar susah hari ini, tapi senang di hari kemudian.