Setiap
anak pasti pasti akan berbuat salah. Tugas orangtua bukan untuk menyalahkan,
tapi menyemangati agar mereka bisa bangkit dan memperbaiki kesalahannya.
Para Remaja itu sebenarnya tidak pernah Memberontak. Bahkan Mereka
tak pernah menginginkan kebebasan Penuh untuk dirinya sendiri tanpa
keterlibatan dari Orang Tua
Ketika seorang Remaja mulai Melawan. Yang sebenarnya terjadi Bukan
benar-benar ingin melawan.
Mereka hanya memprotes cara orang tua mendidik anak, yang
kebanyakan baik untuk orang tua, tapi belum tentu baik menurut anak.
Dalam menghadapi anak, orang tua cenderung menggunakan cara yang
hanya memenangkan dirinya sendiri, bukan anak-anak mereka.
Umumnya para orang tua cenderung merebut peran sebagai penguasa,
pengendali, dan pemaksa keputusan dari setiap masalah, tidak peduli itu masalah
anak sekali pun.
Dalam hampir setiap kesempatan anak hanya didudukan sebagai
boneka, tanpa hak untuk membela pendapatnya.
Betapa banyak orang tua yang begitu fasih mendengarkan syairnya
kepada anak, “Belajar ! jangan main melulu” kamu enggak boleh membantah. Ini
semua kan demi kamu, pokoknya lakukan saja apa yang Ibu bilang”. “Ayah lebih
tau dari pada kamu,” dsb.
Itulah antara lain contoh
ucapan orang tua yang merendahkan anak. Makanya, jangan heran kalau kemudian
ada anak yang lari dari orang tua baik secara fisik maupun psikologis. Kalau mau aman, mestinya orang tua
mengharamkan ucapan sejenis itu.
Lantas, orang tua kebagian ngomong apa ? sebenarnya bicara apa pun
bisa, asal tidak sampai menabrak rambu-rambu hambatan komunikasi diatas. Dalam
keterampilan berkomunikasi, cara menanggapi yang aman ini disebut mendengar
aktif.
Kuncinya, orang tua mesti bersikap netral, baik ucapan, pemikiran,
maupun tindakannya. Tidak lantas potong kompas, main larang “jangan….” Atau
“enggak boleh….” Atau, melarang anak lewat bahasa tubuh. Misalnya, memelototi
anak atau memukul tangannya. Tindakan seperti ini biasanya lantaran orang tua
maunya buru-buru menuntaskan masalah, tanpa mempertimbangkan efeknya terhadap
anak. Yang terbaik, orang tua selayaknya tidak mencampuri pemikiran, perasaan,
gagasan dan masalah anak. Apalagi kalau sampai larut didalamnya dan menjadi
backing baginya. Namun demikian, orang tua tetap dituntut untuk berempati
terhadap anak, yakni mengerti perasaannya dan menempatkan diri dalam posisi
mereka. Dengan sikap semacam ini anak akan merasa orang tuanya tidak
meninggalkannya.
Diperlukan pula sikap tulus orang tua. Jauhi sikap pura-pura, jangan
kalau didepan anak saja orang tua kelihatannya mau mengerti, tapi begitu
dibelakangnya malah ngomel, “apa-apa kok orang tua yang mesti membantu
memecahkan”.
Sikap menerima dapat membantu menyalin komunikasi yang hangat. Ini
bisa disampaikan secara nonverbal, dengan perilaku (pelukan, elusan, tepukan.
dsb) maupun ekspresi (tatapan dan intonasi suara yang bersahabat).
Perilaku yang dapat memperlicin jalan komonikasi antara orang tua
dengan anak adalah menghadap pada anak, menatap matanya, berbicara sepenuhnya
(tidak disambi melalukan sesuatu), dan memberikan keleluasaan berbicara pada
anak.
Sebaiknya orang tua tidak menyela pembicaraan anak, yang dapat
membuatnya tidak
tuntas menyampaikan unek-unek. Begitu anak sudah mulai menyampaikan sesuatu
berarti ia mempercayai orang tuanya. Itu pertanda pintu komunikasi sudah
terbuka.
Selanjutnya kesempatan untuk mengenal masalah anak dapat dilakukan
dengan metode mendengar aktif. Orang tua dapat mulai membantu anak beralih dari
masalah yang tampak secara fisik kemasalah yang lebih mendasar, yakni apa yang
sesungguhnya tengah dirasakan anak.
Pada saat sedang bermasalah, anak biasanya menunjukan isyarat fisik.
Misalnya, marah diam, sambil bersungut-sungut , menangis, dsb. Tugas orang tua adalah menggali
perasaan yang tersembunyi dibalik itu. Apakah ia kecewa, sakit hati, jengkel,
benci, tersinggung, takut, bingung, dan sebagainya.
Bersimpati dengan penderitaan anak merupakan modal lain, tapi
tidak sampai ikut larut. Penting pula bagi orang tuanya untuk menaruh
kepercayaan pada anak atas kemampuannya menyelesaikan masalah. Orang tua
sebaiknya menyadari pula anak sebagai pribadi yang terpisah. Apa pun sikap dan
pandangannya terhadap suatu masalah patut dihargai. Sungguh tidak bijaksana
kalau orang tua sampai mencetus “begitu saja kok kamu pikirkan”. (mn/hy/Ca)