Entri Populer

Rabu, 04 November 2015

Konsep Pendidikan Seks

Ketertarikan terhadap lawan jenis biasanya menjadi bagian dari tumbuh kembang remaja. Di usia pubertas ini, dorongan seksual dan fantasi seksual umumnya juga meningkat. Orangtua perlu membekali buah hati mereka dengan pendidikan seks yang cukup untuk menghindari gaya pacaran yang permisif.

Survei Komisi Nasional Perlindungan Anak di 33 provinsi pada tahun 2008 menyebut, siswa SMP dan SMA yang menonton film porno sebanyak 97%. Saat berpacaran, remaja yang melakukan ciuman, masturbasi, dan oral seks sebanyak 93,7%. Siswi SMP yang sudah tak perawan tercatat 62,7%, dan siswa SMA yang pernah aborsi mencapai 21,2%.

Banyak remaja menganggap berpegangan tangan, berciuman, bahkan saling merangsang adalah cara untuk menunjukkan kasih sayang. Gejolak perasaan remaja bisa membuat mereka pada akhirnya kebablasan dan melakukan hubungan seks pranikah.

Menurut psikolog anak dan keluarga Elizabeth Santosa, perilaku seks remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pergaulan teman sebaya, lingkungan sosial, media dan teknologi, serta hubungannya dengan orangtua.
Walau merasa segan, tapi orangtua berkewajiban memberikan pemahaman kesehatan reproduksi yang baik kepada anak. Mulailah membuka diri dan hilangkan anggapan seks adalah hal yang tabu untuk dibicarakan karena anak yang sedang beranjak dewasa masih membutuhkan arahan dari orangtuanya.
“Remaja memerlukan konsep pendidikan seksual yang utuh dan komprehensif. Pendidikan seks komprehensif mencakup semua aspek, tidak hanya tentang perubahan fisiologis (puber) saja, tapi juga aspek sosio-emosional di mana remaja juga dipersiapkan mental menghadapi mood yang naik-turun, yang seringkali dihadapi sehari-hari,” kata Elizabeth.
Tentu saja keterbukaan berperan penting dalam membimbing remaja mengenal sisi seksualitasnya. Orangtua juga perlu mengenal dunia anaknya. "Bisa lewat obrolan santai dengan anak, misalnya bertanya bagaimana teman-temannya di sekolah, tentang situs-situs Internet yang semakin Jauh dari kata Pendidikan."
Komunikasi yang lancar dengan anak membuat mereka bisa cerita langsung kepada orangtuanya, termasuk soal seksualitas. Obrolan dengan remaja soal seksualitas pun bisa dari peristiwa sehari-hari di sekolah atau dengan teman sebaya. Sebagai orang yang paling mengenal anak, tentu orangtua bisa mencari cara gaya komunikasi yang pas dengan anaknya.
“Mau tidak mau harus ada pembicaraan tentang seksualitas. Jika orangtua dan anak terbuka, pasti akan muncul pembicaraan tersebut untuk didiskusikan,” terang Nina. Seorang Psikolog.
Nina menuturkan, ia sering mendapat cerita dari remaja soal seksualitas. Seringkali mereka merasa hampa, takut berbicara kepada orangtua karena takut dimarahi, sehingga kebanyakan dari mereka mencurahkannya kepada teman sebayanya. Padahal informasi yang diterima kemudian belum tentu tepat. Karenanya, orangtua harus aktif mencari tahu tentang anaknya.
Jika tidak bersumber dari anak secara langsung, orangtua bisa cari informasi dari orangtua lainnya. Salah satu triknya yakni dekat dengan ibu-ibu anak lain, sehingga bisa mendapat informasi baru lalu membahasnya dengan anak.
Orangtua juga harus memahami konsep pendidikan seks sebelum menjelaskannya kepada remaja. Pendidikan seks tak hanya soal hubungan badan, tetapi juga tentang organ genital dan fungsinya. Orangtua pun harus membuka wawasan terhadap tren dan fenomena yang terjadi di kalangan remaja, agar mampu menyelaraskan pemahaman terhadap pola pikir mereka.

“Hal terpenting adalah jangan membuat remaja merasa sedang disidang dan membuat diri mereka tak nyaman. Lakukan secara pribadi dan membuka komunikasi dari hati ke hati,” ucap Elizabeth.

Data penelitian menunjukkan, pendidikan kesehatan reproduksi bermutu justru menunda hubungan seksual remaja untuk pertama kali hingga 37 persen, menurunkan frekuensi hubungan seksual remaja sebanyak 31 persen, dan mengurangi hingga 44 persen kebiasaan remaja berganti-ganti pasangan seks. 

(Purwandini Sakti)