Ketertarikan
terhadap lawan jenis biasanya menjadi bagian dari tumbuh kembang remaja. Di
usia pubertas ini, dorongan seksual dan fantasi seksual umumnya juga meningkat.
Orangtua perlu membekali buah hati mereka dengan pendidikan seks yang cukup
untuk menghindari gaya pacaran yang permisif.
Survei Komisi
Nasional Perlindungan Anak di 33 provinsi pada tahun 2008 menyebut, siswa SMP
dan SMA yang menonton film porno sebanyak 97%. Saat berpacaran, remaja yang
melakukan ciuman, masturbasi, dan oral seks sebanyak 93,7%. Siswi SMP yang
sudah tak perawan tercatat 62,7%, dan siswa SMA yang pernah aborsi mencapai
21,2%.
Banyak remaja
menganggap berpegangan tangan, berciuman, bahkan saling merangsang adalah cara
untuk menunjukkan kasih sayang. Gejolak perasaan remaja bisa membuat mereka
pada akhirnya kebablasan dan melakukan hubungan seks pranikah.
Menurut psikolog
anak dan keluarga Elizabeth Santosa, perilaku seks remaja dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti pergaulan teman sebaya, lingkungan sosial, media dan
teknologi, serta hubungannya dengan orangtua.
Walau merasa segan,
tapi orangtua berkewajiban memberikan pemahaman kesehatan reproduksi yang baik
kepada anak. Mulailah membuka diri dan hilangkan anggapan seks adalah hal yang
tabu untuk dibicarakan karena anak yang sedang beranjak dewasa masih membutuhkan
arahan dari orangtuanya.
“Remaja memerlukan
konsep pendidikan seksual yang utuh dan komprehensif. Pendidikan seks
komprehensif mencakup semua aspek, tidak hanya tentang perubahan fisiologis
(puber) saja, tapi juga aspek sosio-emosional di mana remaja juga dipersiapkan
mental menghadapi mood yang naik-turun, yang seringkali dihadapi sehari-hari,”
kata Elizabeth.
Tentu saja
keterbukaan berperan penting dalam membimbing remaja mengenal sisi
seksualitasnya. Orangtua juga perlu mengenal dunia anaknya. "Bisa lewat
obrolan santai dengan anak, misalnya bertanya bagaimana teman-temannya di
sekolah, tentang situs-situs Internet yang semakin Jauh dari kata
Pendidikan."
Komunikasi yang
lancar dengan anak membuat mereka bisa cerita langsung kepada orangtuanya,
termasuk soal seksualitas. Obrolan dengan remaja soal seksualitas pun bisa dari
peristiwa sehari-hari di sekolah atau dengan teman sebaya. Sebagai orang yang
paling mengenal anak, tentu orangtua bisa mencari cara gaya komunikasi yang pas
dengan anaknya.
“Mau tidak mau harus
ada pembicaraan tentang seksualitas. Jika orangtua dan anak terbuka, pasti akan
muncul pembicaraan tersebut untuk didiskusikan,” terang Nina. Seorang Psikolog.
Nina menuturkan, ia
sering mendapat cerita dari remaja soal seksualitas. Seringkali mereka merasa
hampa, takut berbicara kepada orangtua karena takut dimarahi, sehingga
kebanyakan dari mereka mencurahkannya kepada teman sebayanya. Padahal informasi
yang diterima kemudian belum tentu tepat. Karenanya, orangtua harus aktif
mencari tahu tentang anaknya.
Jika tidak bersumber
dari anak secara langsung, orangtua bisa cari informasi dari orangtua lainnya.
Salah satu triknya yakni dekat dengan ibu-ibu anak lain, sehingga bisa mendapat
informasi baru lalu membahasnya dengan anak.
Orangtua juga harus
memahami konsep pendidikan seks sebelum menjelaskannya kepada remaja.
Pendidikan seks tak hanya soal hubungan badan, tetapi juga tentang organ
genital dan fungsinya. Orangtua pun harus membuka wawasan terhadap tren dan
fenomena yang terjadi di kalangan remaja, agar mampu menyelaraskan pemahaman
terhadap pola pikir mereka.
“Hal terpenting
adalah jangan membuat remaja merasa sedang disidang dan membuat diri mereka tak
nyaman. Lakukan secara pribadi dan membuka komunikasi dari hati ke hati,” ucap
Elizabeth.
Data penelitian
menunjukkan, pendidikan kesehatan reproduksi bermutu justru menunda hubungan
seksual remaja untuk pertama kali hingga 37 persen, menurunkan frekuensi
hubungan seksual remaja sebanyak 31 persen, dan mengurangi hingga 44 persen
kebiasaan remaja berganti-ganti pasangan seks.
(Purwandini Sakti)